PERANG BADAR
MUKADIMAH
Setelah hijrahnya Rasulullah dari Makkah ke Madinah bersama-sama para sahabatnya dan diterima baik oleh orang-orang anshar, Islam telah berkembang, tersebar luas dan diterima oleh banyak kabilah-kabilah arab. Kekuatan dan ekonomi Madinah telah menjadi kukuh. Orang-orang arab Quraisy Makkah tidak senang hati dengan kemajuan ini.
Perang Badar merupakan perang pertama yang dilalui oleh umat Islam di Madinah. Ia merupakan isyarat betapa mulianya umat Islam yang berpegang teguh pada tali agama Allah. Kemenangan besar kaum muslimin tidak terletak pada jumlah tentara yang ikut serta tetapi terkandung dalam kekuatan iman yang tertanam disanubari mereka. Dengan Keyakinan mereka pada Allah yang sangat kukuh itu, Allah telah menurunkan bantuan ibarat air yang mengalir menuju lembah yang curam. Tidak ada sesiapa yang dapat menahan betapa besarnya pertolongan Allah terhadap umat yang senantiasa menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya.
ISI
Dikisahkan, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam terlebih dahulu sampai di sumber mata air Badar dan memutuskan untuk berhenti di tempat itu. Dan itu merupakan bagian dari strategi agar pasukan kaum muslimin dekat dengan sumber air. Melihat hal itu, Habab ibn Mundzir berkomentar, “Wahai Rasulullah! Mengapa engkau memilih tempat ini sebagai pemberhentian kita? Apakah tempat ini memang telah ditentukan Allah kepadamu dan kita tidak dapat memajukan atau mengundurkannya sedikitpun, ataukah ini adalah bagian dari pendapat, strategi, dan siasat perang?” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam menjawab, “Ini hanyalah sekedar pedapat, stategi, dan taktik perang.” Maka Habab berkata, “Wahai Rasulullah, jika demikian halnya, aku juga ingin mengemukakan pendapatku. Menurutku, tempat ini tidak tepat untuk kita berhenti. Sebaiknya kita terus berjalan hingga sampai di mata air yang paling dekat dengan perkemahan bangsa Quraisy. Setelah itu, kita duduki tempat tersebut dan kita hancurkan seluruh sumur yang ada di seberangnya dan menjadikannya kolam penampungan air. Lalu, kita penuhi kolam itu dengan air dan kita baru menyerang mereka. Dengan begitu, niscaya kita akan dapat minum air itu sedang mereka sama sekali tidak bisa meminumnya.” Pada saat itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam berkata, “Pendapatmu sangat bagus!” Kemudian, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam pun menjalankan taktik yang ditawarkan oleh Habab ibn Mundzir radhiallahu ‘anhu. Petunjuk yang diberikan oleh Habab ini diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dengan riwayat munqathi’ -Ibnu Hisyam (2/312-313), atau dengan riwayat mursal dan terhenti pada Urwah sebagaimana yang tertulis dalam al-Ishabah (1/302), Hakim (3/446-447). Riwayat tersebut dinilai sebagai hadis munkar oleh Dzahabi dan Umawi sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Katsir di dalam al-Bidayah wa an-Nihayah (3/293) dengan silsilah periwayatan yang munqathi’ (terputus).
Ketika mereka telah berhasil menduduki tempat yang dimaksud, Sa’ad ibn Muadz berkata kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam, “Wahai Nabi Allah! Tidakkah kami perlu membangun kemah khusus untuk tempat istirahatmu, menyiapkan hewan kendaraanmu dan kemudian kita baru menyerang musuh kita? Sungguh, seandainya Allah memberikan kemenangan dan kejayaan kepada kita atas musuh-musuh kami, maka itulah yang kami inginkan. Namun, bila kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya, maka engkau sudah siap untuk menyelamatkan diri dan menemui kaum kita. Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada beberapa kaum yang menantimu di tanah air kita dan kecintaan mereka terhadapmu lebih besar dari kami. Sehingga, bila mereka mendengar bahwa engkau berperang, niscaya mereka pun tidak akan tinggal diam. Allah pasti akan melindungimu dengan mereka. Sebab mereka pasti akan memberimu pertimbangan dan senantiasa berjuang di belakangmu.” Maka, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam pun menyepakati usulan Sa’ad tersebut.
Meskipun demikian, perlu digarisbawahi bahwa saat terjadinya perang Badar tersebut, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam ikut berperang aktif dan terlibat langsung dalam pertempuran. Jadi, beliau tidak hanya berada di dalam kemah dan berdoa saja sebagaimana dipahami oleh sebagian ahli sejarah. Ahmad menuturkan: Ali radhiallahu ‘anhu menceritakan, “Kalian tentu telah menyaksikan bagaimana kami pada saat pecahnya perang Badar. Saat itu, kami berlindung di belakang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam, sedang beliau terus membawa kami mendekati musuh. Dan beliau adalah orang yang paling berani ketika itu.”
Dengan isnad yang sama, sebuah hadis lain menuturkan, “Ketika keberanian mulai memuncak pada saat perang Badar, kami terus bergerak bersama-sama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam Bahkan, beliau adalah orang yang paling berani. Terbukti, tidak ada satu pun kaum muslimin yang paling dekat dengan musuh selain beliau.”
Muslim meriwayatkan: Pada perang Badar, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam berkata kepada para sahabatnya, “Jangan ada seorang pun di antara kalian bergerak sebelum aku memberi komando.” Ibnu Katsir berkata, “Beliau terjun dan terlibat langsung dalam pertempuran itu dengan segenap jiwa dan raga. Demikian halnya dengan Abu Bakar ash-Shiddiq. Sehingga, keduanya tidak hanya berjuang dengan berdoa dan bermunajat kepada Allah di dalam kemah saja, tetapi juga turun ke medan pertempuran dan bertempur dengan mengerahkan segala daya dan upaya.”
Demikianlah, setelah pada siang harinya mengerahkan segala kemampuan dan daya upaya yang mungkin dapat dilakukan untuk memenangkan pertempuran, pada malam harinya beliau menghabiskan waktunya untuk terus berdoa dan memohon kepada Allah untuk memberikan kemenangan terhadap pihak tentara Islam. Adapun salah satu doa beliau saat itu adalah seperti yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim berikut: “Ya Allah, sempurnakanlah kepadaku segala apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, berikanlah apa-apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, jika Engkau membinasakan pasukan Islam, tentulah Engkau tidak akan lagi disembah di muka bumi ini.”
Sebuah riwayat mengatakan: Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam terus berdoa sampai kain sorbannya terjatuh dari kedua pundak beliau. Kemudian, Abu Bakar datang menghampiri beliau, mengambil sorban beliau yang terjatuh dan kemudian memakaikannya kembali ke pundak beliau. Setelah itu, ia pun melakukan apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam di belakangnya. Setelah itu, Abu bakar berkata, “Wahai Nabi Allah, tidakkah sudah cukup permohonanmu kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, karena sesungguhnya Allah pasti akan memenuhi seluruh janji-Nya kepadamu?” Maka Allah berfirman,“(lngatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu, ‘Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang bertutut-turut’.” (QS. Al-Anfal: 9) Dan benar, esok harinya, Allah mengirimkan bala bantuan kepada mereka berupa pasukan tentara malaikat.” Adapun doa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam pada saat perang Badar yang diriwayatkan oleh Bukhari adalah:”Ya Allah, hamba memohon kepada Engkau akan janji dan perjanjian Engkau. Ya Allah, jika Engkau berkehendak (membuat hamba kalah), Engkau tidak akan disembah setelah hari (peperangan) ini.”
Riwayat lain menceritakan: Lalu Abu Bakar memegang tangan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam dan kemudian berkata, “Sudahlah Rasulullah, engkau sudah meminta dan mendesak Tuhanmu tanpa henti!” Esok harinya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam mempergunakan baju besi dan kemudian keluar dari kemahnya seraya berkata, “Golongan itu (pasukan Quraisy) pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang.” (QS. Al-Qamar: 45)
Ibnu Hatim menceritakan: Ikrimah berkata, “Ketika diturunkannya ayat ‘golongan itu (pasukan Quraisy) pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang … ‘, Umar berkata alam hati, “Golongan manakah yang akan dikalahkan itu?”
Umar radhiallahu ‘anhu juga menceritakan: Ketika perang Badar dimulai, aku melihat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam mempergunakan baju besi sambil berkata, Golongan itu (pasukan Quraisy) pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang.” Maka, aku segera mengetahui maksud ucapan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam tersebut.”
Pada hari Jum’at pagi, tanggal 17 Ramadhan, tahun ke-2 hijriah, tepatnya ketika kedua belah pihak (muslim dan Quraisy) sudah saling berhadapan dan sedang mengambil ancang-ancang untuk saling menyerbu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam berdoa kepada Allah seraya berkata: “Ya Allah, itulah kaum Quraisy yang telah datang dengan sombong dan congkaknya. Mereka memusuhi-Mu, menyalahi perintah-perintahMu, dan mendustakan Rasul-Mu. Ya Allah, aku hanya meminta pertolongan yang telah Engkau janjikan kepada hamba. Ya Allah, binasakanlah mereka pagi ini!”
Setiap kali akan berangkat bertempur, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam selalu terlebih dahulu merapatkan barisan pasukan kaum muslimin. Dia melakukan inspeksi barisan seraya menggenggam sebuah anak panah. Saat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam sedang melakukan pemeriksaan barisan, tiba-tiba beliau menekankan anak panah beliau ke perut Sawad ibn Ghaziyyah. Pasalnya, waktu itu ia agak sedikit keluar dari barisan. Beliau berkata kepadanya, “Sawad, luruskan barisanmu!” Sawad pun menjawab, “Rasulullah, engkau telah menyakitiku, maka bolehkah aku membalasmu?” Maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam membuka bagian perut beliau seraya berkata, “Lakukanlah!” Akan tetapi, Sawad ternyata tidak jadi membalas, tetapi justru memeluk Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam dan mencium bagian perut beliau. Dengan heran, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam bertanya, “Apa yang membuatmu seperti ini, Sawad?” Sawad menjawab, ”Wahai Rasulullah, seperti itulah yang aku inginkan. Sesungguhnya aku telah berharap agar mati setelah bisa menyentuhkan kulitku dengan kulitmu.” Lantas, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam pun mendoakan Sawad dengan hal yang baik-baik. Setelah itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam memberikan berbagai arahan dan pengarahan kepada pasukan muslim tentang berbagai hal yang berkaitan strategi dan siasat mereka hari itu. Beliau berkata, “Apabila mereka mendekati kalian, maka serang mereka dengan anak panah kalian dan jangan sampai didahului oleh mereka! Ingat, jangan sampai kalian melupakan pedang kalian hingga kalian lengah dan dapat dirobohkan.” Setelah berpesan demikian, beliau lantas mengobarkan semangat pasukan muslimin dengan berkata, “Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di genggaman-Nya, setiap orang yang berperang melawan mereka (pasukan Quraisy) pada hari ini, kemudian mati dalam keadaan tabah, mengharapkan keridhaan Allah, maju terus pantang mundur, pasti akan dimasukkan ke dalam surga. “
Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dikatakan bahwa ketika kaum musyrikin telah mendekat, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam berkata, “Bangkitlah kalian untuk menuju surga yang luasnya seperti luas langit dan bumi.” Mendengar ucapan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam tersebut, Umair ibn Humam al-Anshari berkata, “Wahai Rasulullah! Apakah benar surga memiliki luas seperti luas langit dan bumi?” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam menjawab, “Benar.” Dengan terkagum-kagum, Umair berucap, “Oh, betapa besarnya surga itu!” Lalu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam bertanya kepada Umair, “Mengapa engkau berkata demikian?” Umair menjawab, “Tidak, Rasulullah. Demi Allah, aku hanya berharap menjadi bagian dari penghuninya.” Beliau berkata, “Engkau akan menjadi salah satu penghuninya. “
Kemudian, ia mengeluarkan beberapa butir kurma dan memakannya. Setelah itu, ia berkata, “Seandainya aku masih hidup dan dapat memakan kurma-kurma ini, maka itu adalah kehidupan yang sangat panjang.” Lalu ia melemparkan kurma yang ada di genggamannya dan kemudian menjadi beringas bertempur sampai akhirnya terbunuh.
Auf ibn Harits (putra Afra) berkata, ”Wahai Rasulullah, apa yang membuat Allah tersenyum saat melihat hamba-Nya?” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam menjawab, “Ketika tangan seorang hamba itu menceburkannya ke tengah-tengah musuh tanpa mempergunakan pelindung.” Maka, seketika itu juga Auf membuka pakaian besi yang melindunginya, dan kemudian melemparkannya. Setelah itu, ia menghunus pedangnya dan bertempur di medan perang sampai terbunuh.”
Sebelum dimulainya peperangan, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam meminta kepada para sahabatnya untuk tidak membunuh orang-orang dari Bani Hasyim dan beberapa orang lainnya. Pasalnya, mereka ikut meninggalkan kota Mekah dan berperang karena dipaksa. Dan di antara mereka yang disebutkan namanya oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam adalah Abu Bukhtari ibn Hisyam (salah satu orang yang pergi ke Ka’bah untuk merobek surat pemboikotan bangsa Quraisy terhadap kaum muslimin dan ia sama sekali tidak menyakiti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam) dan Abbas ibn Abdul Muthalib.
Ketika Abu Hudzaifah mendengar perintah itu, ia berkata, “Apakah kami harus membunuh bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, dan keluarga kami, sementara kami harus membiarkan Abbas hidup? Demi Allah, bila aku bertemu dengannya, niscaya aku akan menebasnya dengan pedang.” Akhirnya, ucapan tersebut sampai ke telinga Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam Maka, beliau pun berkata kepada Umar, “Wahai Abu Hafshah, benarkah ia akan memukul wajah paman Rasulullah dengan pedang?” Umar berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan saya untuk memenggal lehernya dengan pedang. Demi Allah, ia telah berbuat kemunafikan.” Sementara itu, beberapa waktu kemudian, Abu Hudzaifah berkata, “Aku merasa tidak tentram dengan kata-kataku saat itu. Bahkan sampai sekarang aku masih merasa takut, kecuali bila aku sudah menebusnya dengan kesyahidan.” Maka, akhirnya Abu Hudzaifah pun mati syahid pada perang Yamamah.
Ketika mereka telah berhasil menduduki tempat yang dimaksud, Sa’ad ibn Muadz berkata kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam, “Wahai Nabi Allah! Tidakkah kami perlu membangun kemah khusus untuk tempat istirahatmu, menyiapkan hewan kendaraanmu dan kemudian kita baru menyerang musuh kita? Sungguh, seandainya Allah memberikan kemenangan dan kejayaan kepada kita atas musuh-musuh kami, maka itulah yang kami inginkan. Namun, bila kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya, maka engkau sudah siap untuk menyelamatkan diri dan menemui kaum kita. Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada beberapa kaum yang menantimu di tanah air kita dan kecintaan mereka terhadapmu lebih besar dari kami. Sehingga, bila mereka mendengar bahwa engkau berperang, niscaya mereka pun tidak akan tinggal diam. Allah pasti akan melindungimu dengan mereka. Sebab mereka pasti akan memberimu pertimbangan dan senantiasa berjuang di belakangmu.” Maka, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam pun menyepakati usulan Sa’ad tersebut.
Meskipun demikian, perlu digarisbawahi bahwa saat terjadinya perang Badar tersebut, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam ikut berperang aktif dan terlibat langsung dalam pertempuran. Jadi, beliau tidak hanya berada di dalam kemah dan berdoa saja sebagaimana dipahami oleh sebagian ahli sejarah. Ahmad menuturkan: Ali radhiallahu ‘anhu menceritakan, “Kalian tentu telah menyaksikan bagaimana kami pada saat pecahnya perang Badar. Saat itu, kami berlindung di belakang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam, sedang beliau terus membawa kami mendekati musuh. Dan beliau adalah orang yang paling berani ketika itu.”
Dengan isnad yang sama, sebuah hadis lain menuturkan, “Ketika keberanian mulai memuncak pada saat perang Badar, kami terus bergerak bersama-sama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam Bahkan, beliau adalah orang yang paling berani. Terbukti, tidak ada satu pun kaum muslimin yang paling dekat dengan musuh selain beliau.”
Muslim meriwayatkan: Pada perang Badar, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam berkata kepada para sahabatnya, “Jangan ada seorang pun di antara kalian bergerak sebelum aku memberi komando.” Ibnu Katsir berkata, “Beliau terjun dan terlibat langsung dalam pertempuran itu dengan segenap jiwa dan raga. Demikian halnya dengan Abu Bakar ash-Shiddiq. Sehingga, keduanya tidak hanya berjuang dengan berdoa dan bermunajat kepada Allah di dalam kemah saja, tetapi juga turun ke medan pertempuran dan bertempur dengan mengerahkan segala daya dan upaya.”
Demikianlah, setelah pada siang harinya mengerahkan segala kemampuan dan daya upaya yang mungkin dapat dilakukan untuk memenangkan pertempuran, pada malam harinya beliau menghabiskan waktunya untuk terus berdoa dan memohon kepada Allah untuk memberikan kemenangan terhadap pihak tentara Islam. Adapun salah satu doa beliau saat itu adalah seperti yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim berikut: “Ya Allah, sempurnakanlah kepadaku segala apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, berikanlah apa-apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, jika Engkau membinasakan pasukan Islam, tentulah Engkau tidak akan lagi disembah di muka bumi ini.”
Sebuah riwayat mengatakan: Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam terus berdoa sampai kain sorbannya terjatuh dari kedua pundak beliau. Kemudian, Abu Bakar datang menghampiri beliau, mengambil sorban beliau yang terjatuh dan kemudian memakaikannya kembali ke pundak beliau. Setelah itu, ia pun melakukan apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam di belakangnya. Setelah itu, Abu bakar berkata, “Wahai Nabi Allah, tidakkah sudah cukup permohonanmu kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, karena sesungguhnya Allah pasti akan memenuhi seluruh janji-Nya kepadamu?” Maka Allah berfirman,“(lngatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu, ‘Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang bertutut-turut’.” (QS. Al-Anfal: 9) Dan benar, esok harinya, Allah mengirimkan bala bantuan kepada mereka berupa pasukan tentara malaikat.” Adapun doa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam pada saat perang Badar yang diriwayatkan oleh Bukhari adalah:”Ya Allah, hamba memohon kepada Engkau akan janji dan perjanjian Engkau. Ya Allah, jika Engkau berkehendak (membuat hamba kalah), Engkau tidak akan disembah setelah hari (peperangan) ini.”
Riwayat lain menceritakan: Lalu Abu Bakar memegang tangan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam dan kemudian berkata, “Sudahlah Rasulullah, engkau sudah meminta dan mendesak Tuhanmu tanpa henti!” Esok harinya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam mempergunakan baju besi dan kemudian keluar dari kemahnya seraya berkata, “Golongan itu (pasukan Quraisy) pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang.” (QS. Al-Qamar: 45)
Ibnu Hatim menceritakan: Ikrimah berkata, “Ketika diturunkannya ayat ‘golongan itu (pasukan Quraisy) pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang … ‘, Umar berkata alam hati, “Golongan manakah yang akan dikalahkan itu?”
Umar radhiallahu ‘anhu juga menceritakan: Ketika perang Badar dimulai, aku melihat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam mempergunakan baju besi sambil berkata, Golongan itu (pasukan Quraisy) pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang.” Maka, aku segera mengetahui maksud ucapan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam tersebut.”
Pada hari Jum’at pagi, tanggal 17 Ramadhan, tahun ke-2 hijriah, tepatnya ketika kedua belah pihak (muslim dan Quraisy) sudah saling berhadapan dan sedang mengambil ancang-ancang untuk saling menyerbu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam berdoa kepada Allah seraya berkata: “Ya Allah, itulah kaum Quraisy yang telah datang dengan sombong dan congkaknya. Mereka memusuhi-Mu, menyalahi perintah-perintahMu, dan mendustakan Rasul-Mu. Ya Allah, aku hanya meminta pertolongan yang telah Engkau janjikan kepada hamba. Ya Allah, binasakanlah mereka pagi ini!”
Setiap kali akan berangkat bertempur, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam selalu terlebih dahulu merapatkan barisan pasukan kaum muslimin. Dia melakukan inspeksi barisan seraya menggenggam sebuah anak panah. Saat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam sedang melakukan pemeriksaan barisan, tiba-tiba beliau menekankan anak panah beliau ke perut Sawad ibn Ghaziyyah. Pasalnya, waktu itu ia agak sedikit keluar dari barisan. Beliau berkata kepadanya, “Sawad, luruskan barisanmu!” Sawad pun menjawab, “Rasulullah, engkau telah menyakitiku, maka bolehkah aku membalasmu?” Maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam membuka bagian perut beliau seraya berkata, “Lakukanlah!” Akan tetapi, Sawad ternyata tidak jadi membalas, tetapi justru memeluk Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam dan mencium bagian perut beliau. Dengan heran, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam bertanya, “Apa yang membuatmu seperti ini, Sawad?” Sawad menjawab, ”Wahai Rasulullah, seperti itulah yang aku inginkan. Sesungguhnya aku telah berharap agar mati setelah bisa menyentuhkan kulitku dengan kulitmu.” Lantas, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam pun mendoakan Sawad dengan hal yang baik-baik. Setelah itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam memberikan berbagai arahan dan pengarahan kepada pasukan muslim tentang berbagai hal yang berkaitan strategi dan siasat mereka hari itu. Beliau berkata, “Apabila mereka mendekati kalian, maka serang mereka dengan anak panah kalian dan jangan sampai didahului oleh mereka! Ingat, jangan sampai kalian melupakan pedang kalian hingga kalian lengah dan dapat dirobohkan.” Setelah berpesan demikian, beliau lantas mengobarkan semangat pasukan muslimin dengan berkata, “Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di genggaman-Nya, setiap orang yang berperang melawan mereka (pasukan Quraisy) pada hari ini, kemudian mati dalam keadaan tabah, mengharapkan keridhaan Allah, maju terus pantang mundur, pasti akan dimasukkan ke dalam surga. “
Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dikatakan bahwa ketika kaum musyrikin telah mendekat, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam berkata, “Bangkitlah kalian untuk menuju surga yang luasnya seperti luas langit dan bumi.” Mendengar ucapan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam tersebut, Umair ibn Humam al-Anshari berkata, “Wahai Rasulullah! Apakah benar surga memiliki luas seperti luas langit dan bumi?” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam menjawab, “Benar.” Dengan terkagum-kagum, Umair berucap, “Oh, betapa besarnya surga itu!” Lalu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam bertanya kepada Umair, “Mengapa engkau berkata demikian?” Umair menjawab, “Tidak, Rasulullah. Demi Allah, aku hanya berharap menjadi bagian dari penghuninya.” Beliau berkata, “Engkau akan menjadi salah satu penghuninya. “
Kemudian, ia mengeluarkan beberapa butir kurma dan memakannya. Setelah itu, ia berkata, “Seandainya aku masih hidup dan dapat memakan kurma-kurma ini, maka itu adalah kehidupan yang sangat panjang.” Lalu ia melemparkan kurma yang ada di genggamannya dan kemudian menjadi beringas bertempur sampai akhirnya terbunuh.
Auf ibn Harits (putra Afra) berkata, ”Wahai Rasulullah, apa yang membuat Allah tersenyum saat melihat hamba-Nya?” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam menjawab, “Ketika tangan seorang hamba itu menceburkannya ke tengah-tengah musuh tanpa mempergunakan pelindung.” Maka, seketika itu juga Auf membuka pakaian besi yang melindunginya, dan kemudian melemparkannya. Setelah itu, ia menghunus pedangnya dan bertempur di medan perang sampai terbunuh.”
Sebelum dimulainya peperangan, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam meminta kepada para sahabatnya untuk tidak membunuh orang-orang dari Bani Hasyim dan beberapa orang lainnya. Pasalnya, mereka ikut meninggalkan kota Mekah dan berperang karena dipaksa. Dan di antara mereka yang disebutkan namanya oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam adalah Abu Bukhtari ibn Hisyam (salah satu orang yang pergi ke Ka’bah untuk merobek surat pemboikotan bangsa Quraisy terhadap kaum muslimin dan ia sama sekali tidak menyakiti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam) dan Abbas ibn Abdul Muthalib.
Ketika Abu Hudzaifah mendengar perintah itu, ia berkata, “Apakah kami harus membunuh bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, dan keluarga kami, sementara kami harus membiarkan Abbas hidup? Demi Allah, bila aku bertemu dengannya, niscaya aku akan menebasnya dengan pedang.” Akhirnya, ucapan tersebut sampai ke telinga Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam Maka, beliau pun berkata kepada Umar, “Wahai Abu Hafshah, benarkah ia akan memukul wajah paman Rasulullah dengan pedang?” Umar berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan saya untuk memenggal lehernya dengan pedang. Demi Allah, ia telah berbuat kemunafikan.” Sementara itu, beberapa waktu kemudian, Abu Hudzaifah berkata, “Aku merasa tidak tentram dengan kata-kataku saat itu. Bahkan sampai sekarang aku masih merasa takut, kecuali bila aku sudah menebusnya dengan kesyahidan.” Maka, akhirnya Abu Hudzaifah pun mati syahid pada perang Yamamah.
Dikisahkan bahwa sebelum peperangan dimulai, Asad ibn Abdul Asad al-Makhzumi keluar dari pasukan Quraisy seraya berkata, “Demi tuhan, aku sungguh-sungguh akan meminum air kolam mereka, akan merusaknya (kolam air), atau mati di hadapannya.” Maka, ketika ia sudah mendekat, Hamzah pun merintanginya dan menyerangnya. Hamzah berhasil memukulnya hingga kakinya retak. Akan tetapi, Asad masih terus merangkak menuju ke kolam guna memenuhi sumpahnya dan Hamzah terus mengikutinya, memukul, dan akhirnya membunuhnya di depan kolam tersebut.
SIMPULAN
Pengajaran dari peperangan ini menunjukkan bahwa kaum Quraisy tidak bersatu padu. Ini terbukti apabila ada beberapa pasukan yang menarik diri sebelum perang terjadi. Dengan ini sebagai orang Islam kita harus bersatu demi untuk mencapai kemenangan.
Kaum Quraisy terlalu yakin yang mereka akan berjaya memusnahkan Islam yang memang sedikit dari jumlah tetapi tidak dari semangat. Mereka tidak dapat mengalah tentera Islam karena semangat tentera Islam begitu kukuh kerana Rasulullah telah berjaya menjalin silaturrahim yang kuat sesama Islam. Nabi Muhammad S.A.W pintar mengendalikan taktik peperangan. Orang Islam mempunyai pegangan yaitu berjaya didunia atau mati syahid.
0 komentar:
Posting Komentar